Sejuk Udara wangi pagi
Kuhirup dalam-dalam bersama embun berseri
Saat kutatap cadasnya mega
Gagahnya jajaran bukit perkasa
Ya, kemari kau wahai angkuh
Tak tau kah kau aku sudah siap merengkuh
Bau surgamu yang kian terasa
Menjalar di segenap nadi sendiku
Menantang
Melawan golakan penolakan
Carrier seratus literku yang gagah perkasa
Si hijau setia yang selalu menemani langkahku kemana-mana
Kusentuh lembut sayap-sayap cintamu oh kekasih
Walau hanya sebentuk tas ransel kucel yang terhina
Kau tetap cintaku tiada tara, oh carrier seratus liter
Helaan napas rekan sejawat
Mengiringi perjalananku bersamamu oh carrier seratus literku
Derap perkasa tak kenal lelah
Terus membahana, sahut menyahut, bak titir banjir yang amuk mengalir
Sepatu, sandal gunung, boots, saling menjaga beriringan
Mengawal tuan dan nyonya majikannya
Yang sedang mengejar ambisi taklukkan puncak gunung syahdu
Merbabu
Tak ada keraguan lagi aku padamu
Julangan mancung puncakmu
Yang tiada henti memanggil-manggil pasukanku
Untuk terus menuju ke pangkuan perkasamu
Carrier seratus literku
Tau kah kamu wahai kekasihku
Kubawa serta kau dalam pendakian indah ini
Tak hanya sekedar berbasa-basi dengan si Merbabu ayu perkasa
Kuandalkan kau dengan segenap jiwa
Bantu aku untuk segera bertemu si puncak idamanku itu
Sorga, sorga terasa untuk kami semua
Saat bisa memandang ikalnya awan dari puncak Merbabu perkasa
Carrier seratus literku sayang
Lihat, apakah ikal itu sama dengan geraian hitam rambut gadis Mada
Ya, betul, si Mada gadis cilik yang tadi kita temui di perkampungan sana
Di Thekelan kaki gunung Merbabu
Ingat kan hei Carrier seratus literku sayang?
Gadis legam berkulit kusam
Berambut ikal, oh tidak, lebih tepatnya disebut gimbal
Kenapa tak kunjung kau sisir rambutmu wahai Mada?
Sebegitu sulitkah kau dapatkan sisir di desamu sana
Tlepak
Carrier seratus literku menampar lamunan
Aku tergelincir karena terlalu banyak permenungan
Tapi ingatanku tak kunjung bisa lepas dari bayangan Mada
Gadis cilik legam berkulit kusam
Berapa umurmu wahai bocah misterius?
Tiga? Empat? Ataukah lima?
Sungguh tak jelas berapa usiamu sekarang
Bentuk dan ukuran tubuhmu begitu rata-rata
Rata-rata kecil atau rata-rata besar?
Ah, entahlah
Lebih baik kukata kalau kau berumur lima
Salah pun tak akan ada yang menampar
Tlepak tlepak
Eh, kali ini bukan Carrier seratus literku yang menampar
Juluran dahan-dahan pepohonan rindang di jalan menurun ini
Yang sok akrab menyapa wajah lelahku
Pedas
Perih
Kenapa sih dahan itu tak tau sopan santun
Tak tau ya kalau aku sedang merindukan Mada
Gadis kecil berwajah muram dan berambut gimbal itu
Apa dosamu wahai adik kecil
Kenapa orang tuamu begitu malas menyisirmu
Jorok sekali penampilanmu
Gimbalmu menggelayut berat di seputar bahu ringkihmu
Tapi Mada,
Kenapa kau terlihat begitu pongah di situ
Di antara anak-anak lain sebayamu yang berambut normal
Merasa istimewa kau Mada ?
Kudengar dari bapak tetua desa
Kau sudah mulai mampu bersenandung memaksa
Minta pada kedua orang tuamu berbagai sajian
Untuk ritual potong rambutmu
Sudah berapa lama kau seperti itu Mada?
Kudengar dari bapak tetua desa
Sejak lahir kau memang berbeda
Bagaikan ratu yang menghela dosa ke semua penjuru mata angin
Kau tiupkan wabah pemujaan terhadap keanehan rambutmu
Bapak tetua desa pun berkata
Kau hanya boleh dipotong rambut
Bila kau sudah memintanya
Keriuhan syarat yang kau ajukan
Tak boleh tertolak demi terhindarnya kutukan pada keluargamu
Juga desamu
Percaya pada hal magis seperti itu?
Bisa ya, bisa juga tidak
Tak ada untungnya mau percaya atau pun tidak
Tlepak
Kali ini sandal gunungku yang basah keringat
Membuatku terpeleset
Sejengkal sebelum kujejakkan kaki di depan rumah Mada
Ya, penginapan para pendaki gunung yang kini kukunjungi
Memang berada tepat di depan gubuk Mada
Gadis kecil berwajah muram dan berambut gimbal
Riuh rendah suasana di depan rumahmu Mada
Ada apa?
Rupanya akan ada pesta ya?
Bapak tetua desa pun kembali berkata
Hari ini permintaanmu akan dituruti
Seekor kerbau seperti permintaanmu yang risau
Telah dihadirkan orang tuamu untuk ritual potong rambutmu
Seonggok uang jerih payah berbalut hutang
Terpaksa mereka hadirkan untukmu hai gadis kecil berambut gimbal
Kerumunan para pendaki gunung dan turis manca
Mulai memadati halaman rumahmu
Rupanya ritual potong rambutmu
Telah membuat mata mereka kelu
Begitu juga dengan aku
Takjub ku padamu wahai Mada-ku
Bagaimana nasibmu nanti setelah hilang mahkota gimbalmu
Aku hanya berharap kau tetap akan terus merayu
Mengumandangkan senandung gimbalmu
Walau nanti mungkin kau akan terlihat ayu
Puisi fiksi ini ditulis untuk menggambarkan di masa lalu ritual pemotongan rambut gimbal di lereng gunung Merbabu.
Diajukan untuk lomba menulis pada 15 Desember 2012 di Tulis Nusantara -- tidak lolos :)
suka bagian "kemari kau wahai angkuh"
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTerima kasih, Zen. Aku baru belajar nulis yang seperti ini :) biasanya lebih suka nulis yang lucu2. Oya saya udah follow blognya Zen, sila join blog saya ya. thks
BalasHapusWow, aku durung iso nggawe puisi, je
BalasHapushehee... iku puisi ya Wuri? aku cuma kira2 saja
BalasHapusthks sudah mampir :)
di thekhelan ya mbak :)
BalasHapushehehe....mas Luluk tau aja deh :)
BalasHapusdowoneeeeeeeeeeee...:D :P
BalasHapusmengko kita obrolkan saja isinya pas bisa muncak kmana gitu yak...
*tetepedisingejakmuncakbareng* :D
walaaahh ketauan Bunsal pasti enggak baca kan? ;)
BalasHapusdowone belum seberapa dibandingkan pjalanan menempuh Marabunta pp loh :D