sumber : blog ini |
Semerbak
aroma kopi kental sungguh membuai diriku saat langit alam raya menjadi atapku. Di kesunyian malam berhiaskan ribuan bintang dan terang benderang purnama, aku
dan belasan sobat pendaki gunung kian mengakrabi sendunya gulita, menangisi
kebahagiaan bersama dan mentertawai duka lara kami semua. Eratnya persahabatan
kami tak terpisahkan, bahkan setelah terpaan rasa lelah mendera perjalanan jauh
kami menuju puncak gunung nan damai ini.
Malam
bukan lah waktu yang tepat untuk tidur, Sobat. Kegelapan nan indah memukau itu
hanya pantas dinikmati. Bersama dengan sobat-sobat karibku, aku duduk dalam
kedamaian, diiringi lantunan gitar, juga diriuhkan oleh obrolan ceria. Cerita tentang
tujuan petualangan kami berikutnya lah yang kian ramai menggelora.
'memanggang' kopi |
Kering
tenggorokan yang terlalu bersemangat bercerita seketika luruh dengan hadirnya
kopi hitam kental. Bukan diseduh di atas api. Di dalam nyala api unggun itulah
air, kopi dan sedikit gula dijejalkan langsung, berwadahkan cangkir seng
bertutup. Aku dan sobat-sobatku memang
lebih menyukai ‘kopi klothok’ ala adventurer ini. Wow, sensasinya luar biasa,
saat cangkir panas ditarik keluar dari dalam bongkahan api unggun. Perlu extra
hati-hati saat aku harus menyentuh permukaan tutup cangkir yang telah membara
itu.
Uap kopi yang harum dahsyat seketika menamparku. Tetapi harus waspada,
Sobat, bila tak ingin esok hari bibir dan lidah kelu terpanggang, sebaiknya
seruput pelan-pelan saja kopi nikmat ini.
Ya,
belasan tahun yang lalu, saat aku masih sering berjalan-jalan di alam bebas,
entah itu mendaki gunung, memanjat tebing, menelusuri gua ataupun menyelam, kopi
hitam kental adalah teman akrabku. Kopi mix tak ada dalam kamusku. Kurang jantan
(lha aku kan memang bukan jantan). Lebih tepatnya karena faktor pengiritan
sebenarnya heheheee… sebungkus kopi hitam cukup untuk menemani belasan orang
dalam satu kali trip.
Setelah
tak lagi bepergian ‘pecicilan’ seperti dulu, aku mulai menggemari berbagai
varian kopi. Aneka kopi instan pun mulai akrab menemaniku. Mulai dari ‘kejar
tayang’ skripsi, dimana aku harus sering melek malam agar bisa konsultasi besok
paginya. Hingga saat sudah bekerja, kopi tak pernah ‘berkhianat’ padaku, selalu
setia ‘nongkrong’ denganku yang sedang penat luar biasa lembur di rumah untuk
menyelesaikan entry data yang menggunung, yang esok harinya akan dipergunakan
untuk audit dari berbagai instansi terkait.
si kopi cantik |
Sampai kini aku masih terobsesi ingin menikmati kopi cantik. Apa itu? Kopi ala kedai-kedai kopi ternama yang menghidangkan kopinya dengan kecantikan luar biasa seperti ini. Sungguh keren, duduk di kafe, menulis aneka naskah, sendirian, ditemani si kopi cantik ini (khayalan kelas tinggi). Tetapi heran juga aku, bagaimana mau menikmatinya ya, kalau menyentuhnya saja 'eman-eman' hihihiii.... Halah, kembali ke selera asal aja lah.
Namun
entah apa yang kemudian terjadi pada mekanisme tubuhku. Aku kini tak lagi bisa
menikmati sedapnya kopi. Kopi apa pun. Bermula dari puasa kopi saat aku hamil
anak pertama hingga selesai masa menyusui. Sekitar hampir dua tahun lah puasa
kopi ini. Begitu ingin kembali menyesap nikmatnya kopi, bukan ‘heaven’ yang
kudapat.
Jantungku
berdegup kencang seperti habis ikut lari marathon. Duh, kenapa pula badan ini. Ah,
kupikir paling-paling karena kaget minum kopi, kan sudah lama ‘pisah ranjang’
heheheee… Tetapi setelah berjam-jam, setengah hari, lewat tengah malam, bahkan
hingga esok hari, deburan kencang di dada tak juga padam. Sungguh suatu
pengalaman yang sungguh menyakitkan. Ini ‘noda’ terbesar dalam ‘persahabatan’ku
dengan si biang caffein ini. Bagaikan di-detox paksa, aku pun menyerah
seketika. Kurelakan engkau pergi dari aliran tenggorokku wahai kopi tercinta
(ih, kayak apa aja deh ya).
Setahun belakangan ini, aku asyik belajar menulis setelah bergabung dengan beberapa komunitas menulis di dunia maya. Ah, waktu seakan berlari begitu lama saat ingin berkonsentrasi mewujudkan setitik tulisan. Sebenarnya paling mantap kalau menulis ditemani kopi tercinta. Tapi apa daya, ragaku telah menolaknya dalam aliran darah.
lulur kopi |
sabun kopi |
Aku
tak pantang menyerah. Bila aku tak bisa lagi meminumnya, tak apalah. Toh aroma
kopi masih bisa kunikmati dengan cara lain. Berbagai perawatan tubuh di masa
kini kan sudah banyak yang menggunakan bahan dasar kopi. Kali ini aku yakin,
aku tak mungkin deg-degan lagi. Ya iya lah, masak sabunan dan luluran pakai
kopi bisa deg-degan hehehee..... Jadi deh sepanjang hari tubuhku beraroma kopi. Hmmmm.... it's really an energizing aroma therapy. Suka banget deeehhh
Di kantor dan di rumah aku selalu bersanding dengan produk beraroma kopi kesukaanku, body cream dan body mist (merk tidak diperlihatkan ya, jadi ini bukan promosi heheheee...). Terkungkung di ruang kantor ber-AC sepanjang hari membuatku tak bisa berkeringat sebebas dulu lagi. Jadi untuk mendapatkan kelembaban aku harus menggunakan produk ini saat kulit terasa kering nian. Dan saat di rumah, saat anak-anakku sudah terlena dalam mimpi, aku bisa asyik sendiri berkutat dengan aneka tulisan (baik itu bikin tulisan untuk event penerbit, event GA, jualan onlineku, fesbukan maupun nge-blog). Meskipun bersanding dengan minuman hangat sesuai pertumbuhan usia (hehehee...mau bilang minum jahe anget aja koq malu), namun aroma kopi yang berasal dari sabun dan mist yang kugunakan, tetap tak tertandingi oleh dinginnya malam dan beratnya kantuk yang melanda.
Jadi
wahai kopi tercinta, jangan putus asa, jangan mudah menyerah. Kita tetap akan
dipersatukan, meskipun dalam wujud dan kesempatan yang berbeda. Janji ya kita
tetap akan setia, Kopiku sayang :)
*Catatan mabuk kopi *
tulisan ini diikutsertakan dalam GA Lisa Gopar
Lomba Menulis Artikel "Penulis & Kopi"
ya Allah, kamu pernah muda mba ?? #pangling
BalasHapusHahaha... dulu aku juga pecinta kopi. Tapi hampir lima tahun ini berhenti minum kopi hitam karena lambung yang bermasalah.
BalasHapusTulisannya menarik, mengalir, kereeen.... :)
Ipoet : takblokir lho gapura meh mlebu omahmu yen ngece xixixiii.... thks yo udah mampir
BalasHapusmak Wati : suwun udah mampir n komen, inilah cerita disapih paksa dari kopi jiahahaaaa....
Ooo, begitu ceritanya ya Mbak, jadi tidak "sobatan" lagi sama kopi, tapi masih bisa menikmati aroma kopi yang memang gak ada duanya ya, tulisannya apik, runut, semoga berjaya di GA ini ya :)
BalasHapushehehee... iya nih mba, aku 'diputus' paksa dengan kopi tercinta ;) padahal sukaaaa baanget
BalasHapusTerima Kasih Partisipasinya :)
BalasHapusGOOD LUCK!
Salam,
Lisa Gopar
matur nuwun mba Lisa untuk kesempatan berpartisipasinya
BalasHapuswahhh dulu anak repala ya ... saya gak dibolehin Mama ikutan beginian >.<
BalasHapuskopi emang 'teman' yang seru yaaa...
semoga sukses ikutan GA-nya
salam manis,
argalitha.blogspot.com ^^
salam kenal ya Arga Litha.... segera meluncur deh ke blog mu ;)
BalasHapussalam kenal mbak aku di Blok E....sudah tau tho? Like kopi juga...wkwkwkwk
BalasHapuswah Le'e menguntitku ik... Blok E bentar lagi di-line kuning ama bu polisi lhooo...waspadalaaahhh :p
BalasHapusWah perjalanan dari pecinta kopi sampai stop ngopi ....
BalasHapusWah .... Sekarang saya baru mulai nyoba kopi2 yang eksotis ....
Kopi kholotok belum pernah saya coba nih ....