Lalu
lalang ratusan manusia yang sembilan puluh persen lebih berkategori “wong
Landa” alias Western membuatku kikuk luar biasa. Aku yang biasanya hanya berkutat
dari pintu kantor ke meja kerja, dari kota menuju ujung desa, tiba-tiba
mendapati situasi yang tak pernah sekalipun melintasi mimpiku.
Koelnmesse, lokasi berlangsungnya Spoga |
Ya,
setelah melewati South Entrance di Koelnmasse aku jadi tergagap sempurna.
Gedung super megah yang digunakan untuk Spoga, pameran tahunan di kota Koln
untuk produk-produk Garden Lifestyle, Sport dan Camping ini, membuatku takjub
luar biasa. Aku bahkan sempat beberapa detik
lupa tujuanku datang kemari. Kalau bukan karena pimpinanku, yang jalan
berdampingan denganku, tiba-tiba memerintahkanku untuk menyiapkan kartu nama
perusahaan kami, tentu lamunanku itu akan terus berlanjut bermenit-menit
berikutnya.
Ah,
jangan salahkan dulu atas bengong dan serangan ‘udik’ mendadak ini. Perjalanan
panjang beban kerja dari satu tempat kerja ke tempat berikutnya membuatku tak
akan pernah melupakan saat-saat menakjubkan ini. Bagaimana tidak, aku baru saja
masuk ke perusahaan kayu ini. Belum ada tiga bulan sejak aku bergabung dengan
perusahaan yang kukira hanya perusahaan kecil ini (menilik dari fasilitas,
interior dan bentuk gedung kantornya). Pertama kali melangkah masuk ke kantor
ini, naik ke lantai duanya untuk interview dengan sang boss, terus terang aku
jadi mengernyitkan dahi. Lantai di second floor itu ternyata dari lembaran
kayu, yang meskipun sangat tebal namun saat aku melangkah di atasnya keluar
bunyi kereyat kereyot seperti mau rubuh. Seperti kandang burung saja layaknya.
Namun
kemudian aura jumawa pabrik kecil itu keluar seiring dengan membaranya semangat
sang boss, yang punya obsesi luar biasa untuk masa depan perusahaannya.
Pabrikan kecil itu dengan segala keterbatasan fasilitasnya harus bisa jadi
salah satu pelakon bisnis kayu yang diperhitungkan, baik di mata kompetitor
maupun buyer-buyer asing. Dalam satu bulan aku ditempa bagaikan besi yang harus
segera siap untuk dijadikan senjata. Awam sama sekali di bidang perkayuan, aku
pun harus ekstra konsentrasi untuk mengikuti alur pemikiran si boss. Bagaimana
cara mengetahui kualitas kayu yang baik sejak dari potongan baru (fresh cut), cara
memperhitungkan berapa potong produk jadi akan dihasilkan oleh sebatang balok
besar kayu, bagaimana menghitung kubikasi kayu dan aneka ilmu perkayuan yang
sebelumnya tidak kuketahui sama sekali.
Aku
tak tahu bagaimana asal muasalnya, yang jelas ini salah satu ‘luck’ terbesar sepanjang hidupku. Boss
memintaku untuk mengurus transportasi, akomodasi, paspor dan visa beliau
beserta istri, saudara dan iparnya yang merupakan rekan komanditer di
perusahaan itu. Beliau sangat ingin menyaksikan pameran perkayuan terbesar di
Eropa, yaitu Spoga Cologne. Pameran ini berlangsung di kota Cologne / Koln, Jerman. Tak masalah bagiku untuk
mengurus segala detail perjalanan ini karena sebelumnya aku sudah pernah
bekerja sebagai staff administrasi di seksi kesekretariatan pabrik garmen,
dimana salah satu tugasnya adalah mengurus perjalanan para ekspatriat India
untuk bepergian di dalam negeri maupun pulang kampung. Memang agak lebih sulit
kali ini karena aku harus mengurus visa Schengen untuk bisa masuk ke Jerman dan beberapa negara lainnya yang tergabung dalam European Union. Kudengar kalau yang
bersangkutan tidak berangkat sendiri, visa tak akan diproses. Ah entahlah, itu
urusan nanti. Pasti bisa. Selalu akan ada caranya.
Ketakpercayaanmu pada sesuatu akan membuahkan hal yang mustahil. Namun bila kau percaya, keyakinanmu itu akan memunculkan hasil yang positif
Biasa
saja saat boss memintaku untuk mengurus ini dan itu persiapan perjalanan ke
luar negeri tersebut. Yang menjadi luar biasa adalah saat boss menyerahkan
daftar peserta perjalanan itu. Namaku tercantum di daftar paling bawah. Ah, aku
tak percaya, lalu kukonfirmasikan ke pimpinanku tentang ketakpercayaanku itu.
Jawaban beliau sungguh di luar dugaan. “Ketakpercayaanmu pada sesuatu akan
membuahkan sesuatu yang mustahil. Namun bila kau percaya, keyakinanmu itu akan
memunculkan hasil yang positif”. Diam. Hanya seribu diam di luar, namun sorak
sorai dan gemuruh di dalam dada.
Betapa
tidak gemuruh, aku belum pernah bepergian jauh. Paling mentok hanya sampai
Surabaya, Jakarta, Jambi dan Palembang. Pergi melintasi benua dan lautan,
menuju negeri yang dahulu dikuasai Hitler, sama sekali tak pernah terbersit di
angan-anganku. Gembira, merasa mendapat anugerah maha dahsyat, namun juga
masgul. Putri kecilku belum juga berusia satu tahun, apakah aku harus tega
meninggalkannya. Perang batin berkecamuk saat itu.
Dukungan
dari suami tercinta lah yang membuatku akhirnya mengambil keputusan untuk
mengikuti perjalanan dinas ini. Sungguh beruntung aku memiliki pasangan hidup
yang sangat pengertian dan mendukung kemajuanku. “Kesempatan ini mungkin tak akan datang lain kali,
ambillah, semoga barokah bagi keluarga kita.” Alhamdulillah, dukungan dan
doanya merupakan ‘pelukan’ terbesar bagiku.
Kesempatan ini mungkin tak akan datang lain kali, ambillah, semoga barokah bagi keluarga kita
Seumur
hidup aku belum pernah naik pesawat. Pertama kali aku mengalami apa yang
disebut orang sebagai ‘Boarding’ ya baru kali ini. Dari Semarang pesawatku
menuju Jakarta untuk selanjutnya terbang ke Kuala Lumpur sebelum bertolak
menuju perjalanan panjang.
Segala
rasa bahagia dan beruntung yang kumiliki ini membuatku tidak mabuk di
perjalanan udara ini meskipun ini adalah pengalaman pertama yang mendebarkan.
Kunikmati dua hari penuh perjalanan udara ini hingga akhirnya mendarat dengan
selamat di bandara Frankfurt. Terkagum-kagum saat menyaksikan kemegahannya,
terheran-heran saat menyusuri selasarnya menuju ‘parking area’, dan bagaikan
orang tersesat saat melihat kelengangan tempat parkir itu. Tidak seperti di
kampungku, di sana sama sekali tak ada operator parkirnya. Semuanya dijalankan
mesin. Bahkan untuk membayar parkir pun sudah ada alatnya. Wah, sungguh udik ya
diriku. Rombongan kami harus turun ke tempat parkir ini untuk mencari mobil sewaan. Untunglah sebelumnya sudah ada korespondensi dengan Hilman, pemuda Indonesia asal Jakarta yang sedang menuntut ilmu di Bremen. Dia bersedia menjadi pemandu dan driver, Driving License International sudah dia miliki. Jadi selamat lah nasib kami.
Aku
dan seorang agen penjualan mitra bossku masih harus melanjutkan perjalanan
selama beberapa jam menggunakan kereta cepat ICE dari Frankfurt ke Appeldorn,
The Netherlands. Kami akan singgah dulu ke kota kecil berjarak tempuh setengah
jam via bus dari Appeldorn, yaitu Arnheim, mengunjungi saudara perempuan dari
mitra bossku ini. Wow, kereta cepat ICE berbentuk kapsul ini luar biasa. Tak
bergoncang sama sekali setiap kali ‘start’ maupun akan berhenti. Bagaikan duduk
di kursi di dalam ruangan. Mantap. Adapun bossku beserta rombongan keluarganya naik mobil sewaan, kami akan bertemu di Arnheim nanti.
at Frankfurt Bahnhoff (railway station) - foto koleksi pribadi |
Begitulah.
Bagi bossku yang biasa piknik ke Singapura dan China, perjalanan ini hanya
sedikit lebih lama dari piknik-pikniknya yang lain. Namun bagiku, ini adalah
perjalanan seumur hidupku. Perjalanan terbesar yang pernah ‘singgah’ dalam
detak-detak jiwaku.
Aku
hanya sempat diajak sedikit jalan-jalan di Amsterdam, menikmati lembutnya
keriuhan kota yang letaknya lebih rendah dari air laut itu. Menakjubkan. Kok
bisa ya seperti itu, kalau di kampung halamanku pasti lah sudah tergenang
banjir seumur hidup. Ah, lagi-lagi sikap skeptisku muncul. Maafkan aku ya
kotaku tercinta karena sudah membanding-bandingkanmu untuk ini. Lamunan demi lamunan indah kembali melandaku, hangatnya mentari membelai wajahku dari balik dinding kaca boat yang kutumpangi saat aku diajak menikmati 'pelesir' di sepanjang perairan kota nan cantik itu.
Selanjutnya
adalah bekerja, bekerja dan bekerja. Saat kami hadir di pameran Spoga Cologne itu,
bossku bisa melihat berbagai stand dengan nikmat. Aku pun merasakan ‘nikmat’
yang sama saat boss memberikan target padaku untuk menyebarkan kartu nama
perusahaanku di pameran itu. Sejatinya pameran itu digunakan oleh para
‘exhibitor’ untuk menjual barang. Namun bossku punya pemikiran brilian yang tak
bisa kutentang. Kami sebagai pabrikan yang biasa mensuplai kayu ke Eropa
tentunya harus bisa menembus ‘sekat’ dari para ‘exhibitor’ ini. Target ini
dilandasi asumsi bahwa para raksasa penjual kayu di Eropa itu tentunya
membutuhkan supplier-supplier handal dari Asia Tenggara, dimana Indonesia adalah salah satu
penyedia kayu berkualitas. Jadi, di sanalah, dari satu ujung hall ke pojok hall
yang lain, aku harus menebalkan muka, mencari seribu satu model percakapan yang
membawaku pada keberuntungan berikutnya.
denah lokasi Spoga - sampai 'gempor' kumenyusuri semua hall :) |
Di
salah satu hall aku dan mitra bossku bertemu dengan pengusaha Singapura yang
menyewa stand lumayan besar di situ. Itulah rupanya ‘luck’ keduaku muncul.
Berbincang-bincang basa-basi bisnis yang berujung pada berpindahnya kartu
namaku ke Steven Chew, salah satu putra dari Mr. George Chew, pengusaha kayu
ternama dari Singapura. Sempat disindir oleh sang bapak bahwa mereka pameran di
sana untuk mendapatkan pembeli, bukan mencari supplier. Namun ternyata di
kemudian hari baru kutau bahwa pertemuan itu menghasilkan order puluhan
kontainer dari Steven untukku. Ya, puluhan kontainer besar 40 feet berhasil
kudapatkan di kemudian hari. Berkat pertemuanku hari itu dengan Steven. Jadi,
apakah bukan ini yang dinamakan keberuntungan?
Selain
datang ke pameran ini, boss juga mengajakku mengunjungi beberapa perusahaan
yang mengimpor kayu dari Indonesia. Aku, boss dan si mitra kerja akhirnya
kemana-mana bertiga. Adapun keluarga si boss berkeliling Eropa naik mobil
sewaan mereka untuk berwisata dan belanja.
Kami
sempat singgah di Wuppertal, kota dengan keeksotikan dan keunikan tersendiri.
Hanya di kota ini kami bisa menyaksikan kereta yang melaju di atas jalan raya.
Kereta itu melaju di atas mobil yang kami tumpangi saat Mr. Zahn, salah satu buyer, membawa kami
melaju menuju kantornya setelah sehari sebelumnya menerima kami dengan ramah di
rumahnya, di Muenster. Tak kusangka, ternyata ada juga ya orang Jerman yang
ramah. Kupikir mereka itu kaku sikapnya. Sungguh bayangan yang melampaui
imajinasi.
Aku, Herr Wohlers dan mba Nita di Koln Bahnhoff, bersiap meluncur ke Hamburg |
Di
hari berikutnya kami harus kembali melaju berkereta. Bukan kereta eksekutif
seperti sebelumnya. Kali ini naik kereta ekonomi, cukup nyaman. Hanya
dengkuran keras dari boss-ku yang mungkin kelelahan saja lah yang membuatku
duduk jauh-jauh darinya. Biar saja dianggap tidak kenal. Lumayan lama aku harus
menghabiskan waktu dari Koln menuju Hamburg, kota yang ada di bagian utara
Jerman.
Kali
ini aku harus berurusan dengan klaim dari Herr Wohlers yang menyatakan kayu
yang pernah dikirim perusahaan kami (sebelum aku bergabung) tidak sesuai
spesifikasi yang telah ditentukan.
Aku terpaksa ‘merana’ inspek ke gudang si
jangkung Wilhelm Wohlers ini, naik-naik ke semua tumpukan kayu kami yang telah
terdampar di ‘yard’nya. Beradu argumen yang logis bersama bossku, kami harus menghadapi
keresahan Herr Wohlers yang merasa kami rugikan. Satu kesepakatan telah dibuat.
Case closed.
harus naik-naik ke tumpukan kayu di gudang buyer |
Berpindah
lagi ke buyer berikutnya. Aku bertemu dengan person in charge, kali ini masih
muda, tidak seusia Herr Wohlers, ataupun Herr Zahn yang sudah pantas menjadi
ayahku. Kali ini si ‘dandy’ Ulf Boettcher membawa kami meeting di kantor
mereka, di Hans-Henny-Jahnn-Weg, Hamburg. Kami diperkenalkan kepada pimpinannya
yang terlihat aristokrat, yang ternyata diakui oleh sebagian pengusaha kayu di
Jerman sebagai ‘the real gentleman’. Entahlah apa maksudnya. Ulf telah
menceritakannya padaku namun aku tetap tak mengerti apa yang dimaksud. Berhubung bahasa Inggrisku pas-pasan, juga daya
tafsirku yang lumayan kacau atas bahasa Inggris berdialek Jerman, aku tak
menangkap inti dari sebutan tadi.
Begitu juga saat meeting, membahas prospek
order kami ke depannya, tak semua yang Ulf bicarakan bisa kutangkap. Kuambil inti-intinya
saja. Untunglah, saat dia menanyakan sesuatu padaku, jawaban yang kuberikan
rupanya tepat. Aku memang harus berjuang sendiri menterjemahkan bahasa Inggris
keJerman-Jerman-an ini karena my dear boss hampir tidak bisa berbahasa Inggris.
Well, was it called ‘luck’ again? Aku dan bossku yang tertatih-tatih
berbahasa Inggris masih bisa bertahan hingga di titik ini.
mendiskusikan kualitas kayu yang bermasalah dengan Ulf |
Begitu
pun saat kami dijemput dari penginapan, oleh big boss dari perusahaan yang
lain, menuju sawmill mereka di Rote Brücke, Hamburg. Oleh sang big boss kami dioperkan
ke sang Einkaufsleiter alias Purchasing Manager, seorang Jerman keturunan
Polandia, Wilhelm Widok. Nice, charming, dan yang jelas sangat kooperatif
menghadapi kami orang-orang Asia yang sangat berbeda kultur dan cara pemikiran
atas bisnis ini.
mesin canggih tanpa operator manusia di sawmill Daldorf |
proses pengolahan kayu limbah - Daldorf |
Herr Widok juga mengajak kami tour di sawmillnya yang lain,
yaitu di Daldorf. Entah ini kota di bagian mana aku tak tau. Yang jelas aku
sangat beruntung, tak harus kemana-mana naik bis atau pun kereta lagi. Herr
Widok mengantar kami kemana-mana, mulai dari tour di dua sawmill perusahaan
itu, hingga ‘Hamburg-down-town’ alias jalan-jalan. Di kemudian hari kami
menerima order yang tidak sedikit dari perusahaan ini, kemungkinan besar juga
atas hasil kunjungan kami ini. Bahkan saat Herr Widok berkunjung ke Indonesia setahun berikutnya, boss sempat mengajaknya untuk off road bersama di areal perkebunan Kendal. Nice moment.
kanan ke kiri : aku, Widok dan boss-ku, sedang off road setahun kemudian |
Perjalanan
nan melelahkan sekaligus menyenangkan itu sangat berdampak positif pada
kinerjaku di kemudian harinya. Satu persatu buyer yang kami kunjungi ataupun ku’approach’
mulai mengirimkan berbagai email untuk menanyakan kesiapan kami atas
order-order mereka. What a lovely outcome of a lovely journey……
Kembali
kubertanya, nikmat Allah mana lagi kah yang pantas kudustakan untuk semua ini?
I’m a very lucky one. Seorang ibu bekerja yang semula tak tau apa-apa tentang
kayu, hanya berkutat dengan rute rumah-kantor saja. Meskipun kini aku tak lagi bekerja dengan boss-ku yang berjasa ini (aku harus pindah ke perusahaan yang lain karena sesuatu hal), semua keberuntungan yang kudapat dulu tak akan pernah lekang dari ingatan. Hingga kini aku masih harus berkutat dengan tumpukan dokumen, tumpukan kayu, tetap bekerja di desa, namun rasa syukurku tetap selalu terpatri atas berkah mendapatkan ‘lucky bid’ kala itu.
Keseharianku : sekali-sekali ke pelabuhan |
Keseharianku : rutin mengikuti berbagai sosialisasi dari instansi terkait |
tulisan ini diikutsertakan dalam CHIC Blog Competition
Love this posting so muchhh...never stop to believing..love u sista, hope you win it! Aameen..
BalasHapusmatur nuwun mak Dedew chayank.... engkau dan IIDN makin menyemarakkan hari-hariku kini :)
BalasHapuswaw kereeen mak.... keberuntungan ini datang berkat kerja kerasmu juga :D
BalasHapusMoga dapt vouchernya ya makkk
suwun mama thifa.. eh tapi jan2e aku gak ngerti loh hadiahe opo. voucher MAP apaan sih mak *ketok ra mutune ya?xixixiiii
BalasHapusTak bantu doa menang ya, Mak. Aamiin. Ternyata dikau pernah tomboy juga, hehehe
BalasHapushehehee... yang penting nulis kan Wuri? makasih udah mampir. eh sejatinya emang tomboy loh, yg sekarang kan cuma penyamaran :D
BalasHapus