Guru dalam Bahasa Jawa merupakan akronim dari ‘digugu lan ditiru’, yang artinya dijadikan panutan dan ditiru semua tindak tanduknya. Meski sudah lazim kita tahu, tak semua guru masuk kriteria di atas. Toh tak lantas menjadikan kita tak menghargai jasa guru yang telah mendidik kita, bukan?
Pendidikan bagi seorang anak memang merupakan kebutuhan utama. Seratus persen kewajiban orang tua lah untuk mendidik anak. Ayah dan ibu tetap menjadi sandaran nomor satu meskipun untuk urusan pendidikan formal masih membutuhkan bantuan dari guru sekolah. Ya, guru yang berinteraksi dengan murid-muridnya tak lebih dari separuh hari. Justru dari waktu yang sedikit itulah makna kasih sayang dalam balutan kurikulum teruji sepenuhnya.
Sejak duduk di sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, saya tak pernah bermasalah dengan guru. Mungkin karena anak perempuan itu jauh lebih nurut dibandingkan anak laki-laki. Banyak sekali perlakuan istimewa yang saya terima dari guru-guru sekolah, tak lain dan tak bukan karena sebagian besar dari bapak dan ibu guru itu mengenal orang tua saya yang dulunya menjadi pengajar mereka. Bapak saya memang dosen olah raga. Guru olah raga saya di SD, SMP hingga SMA rata-rata dulunya siswa beliau. Jadi tak aneh bila guru olah raga saya selalu memberikan perlakuan khusus, meskipun itu harus saya bayar dengan kerja keras mengikuti berbagai cabang olah raga dalam tiap kejuaraan antar sekolah.
Lain halnya manakala memandang perhatian guru kepada murid tanpa embel-embel pengaruh orang tua. Saya jadi teringat guru mata pelajaran sosiologi saat kelas dua SMA. Beliau terkenal sabar dan halus luar biasa. Toh tak urung pernah sekali menampar teman saya yang memang kelakuannya menyebalkan. Tak bisa dibayangkan bagaimana menjengkelkannya teman saya itu, bapak guru yang tak banyak bicara dan lembut perangainya itu sampai sedemikian murka.
Meskipun saya tak membela teman saya itu, namun apa yang dilakukan bapak guru itu jelas salah. Beliau kurang menangkap esensi mendidik yang sebenarnya. Saya akan coba bandingkan dengan salah satu guru idola saya di masa SMA itu. Nama beliau Bu Kustrisnowati, guru mata pelajaran akuntansi, saya lebih akrab memanggil beliau Bu Kustris.
Walau tak bisa disamaratakan, memang murid-murid di kelas IPS kebanyakan memiliki perilaku yang lebih ‘unik’. Salah satunya seperti teman saya yang mengalami hal tak enak di atas. Katakanlah namanya Adam (nama saya samarkan). Adam tergolong anak yang ceriwis dan sering mengganggu di kelas. Itu dia lakukan terus menerus sepanjang pelajaran (kecuali di mata pelajaran yang gurunya galak). Pada jam pelajaran akuntansi yang sangat membutuhkan ketekunan dan ketelitian, Adam tetap saja berisik dan tampak sekali mengganggu Bu Kustris yang sedang membantu pemahaman hitungan akuntansi kepada murid-murid yang belum jelas satu persatu.
Adam bolak-balik menanyakan masalah hitungan yang tak kunjung dikuasainya. Namun kami semua sekelas tau bahwa dia bukannya ingin tau tentang pelajaran, tapi sedang iseng seperti biasa. Entah tidak tau ataupun memang memiliki kesabaran yang tak berbatas, ibu guru nan sederhana ini menjawab tiap pertanyaan Adam yang jelas-jelas menyita waktu. Teman-teman lainnya yang ingin bertanya pun jadi sebal meskipun hanya diam karena sudah tau watak anak yang satu ini. Adam, si jejaka tanggung dari keluarga kaya, yang mungkin segala tingkah laku dan keinginannya dibenarkan oleh kedua orang tuanya. Tak merasa bahwa menggoda guru atau orang tua itu adalah satu hal yang tak pantas.
Bayangkanlah, seorang ibu guru sederhana yang harus demikian sabar menghadapi muridnya, demi sesuap nasi dalam menghidupi keluarganya. Sungguh saya angkat topi setinggi-tingginya untuk beliau. Tanpa merasa marah dan terhina, Bu Kustris tetap sabar dan lembut perlakuannya. Tak hanya kepada Adam, namun juga kepada sebagian besar murid bandel lainnya yang tau Bu Kustris tak pernah marah sehingga sering menjadikan beliau sebagai sasaran keisengan mereka.
Saat ini Bu Kustris telah memasuki masa pensiun. Sudah lama beliau tidak mengajar. Kebetulan sekali saat menghadiri arisan mantan guru di kediaman orang tua (ibuku dulu rekan sejawat Bu Kustris) setahun yang lalu, ada kesempatan bagi saya berjumpa dengan beliau. Dua puluh tahun sudah saya tak pernah bertatap muka dengan beliau, rupanya tak ada perubahan dalam diri guruku yang sabar ini.
Masih sederhana dan lemah lembut seperti dahulu.
Ah ibu guruku sayang, hanya Allah lah yang bisa membalas semua jasa baikmu dahulu. Mengganjar sabar tak berbatasmu dengan pahala tak terkira. Semoga sehat selalu, Bu.
*Ini tulisan versi aslinya, adapun yang telah tayang di Citizen 6 - Liputan6.com berjudul Bu Kustris, Sosok Sang Guru yang Sederhana sudah mengalami perubahan oleh redaksi
aku pernah bermasalah sama guru mba.. walaupun aku cewek. haha
BalasHapuskupikir ibu guru itunya aja yang sensi sama aku. apapun yang kulakukan kayaknya salah di mata ibu itu. udah ibu itu doang. yang lain mah fine2 aja. malah aku jadi idola semua guru waktu SMP. wakakak
cihuiii idola ni yeee... beda banget ama aku ya Syifa, aku dulu buron waktu sekolah, hobi bolos sih xixiiiii
Hapusahhh.. saya jadi merasa berdosa.. dulu sering banget usil ngelewein guru bahasa Inggris, pura-pura cuma mengerti kata'yes, oke, no' doang kalau ditanya.. Sampai diskors selama beberapa bulan gak boleh ikutan pelajaran beliau karena bilang masa bodoh dengan pelajaran Inggris.. coba aja dulu lebih serius belajar sama pak Belel, pasti sekarang gue lebih handal dalam cas cis cus bahasa English :D
BalasHapusMaka sebenarnya di hati ibu guru itu sedang mengutuk sang murid, dengan pertanyaan-pertanyaanmu ini semoga kelak engkau dewasa menjadi DEWA akuntansi seluruh Indonesia
BalasHapus