Luka itu menguatkanku, terdengar berlebihankah?
Untuk sebagian yang hidupnya datar, atau bahkan memiliki kecenderungan bahagia selamanya, tentunya susah ya membayangkan hal itu. Luka kok menguatkan. Luka itu ya menyakitkan, mengenaskan, bahkan seringnya menghancurkan. Padahal sesuai dengan rumus keberagaman rasa yang dialami manusia, ada duka ya ada pula suka, saat ngganjel hilang legalah yang datang, ada tangis ada tawa, amarah yang berakhir dengan peluk, dan masih banyak fragmen kecil manusia yang silih berganti menyambangi.
Meskipun terbilang tidak menderita, masa kecilku kulalui dengan banyak luka. Luka yang dulu terasa perih di kalbu, namun sekarang justru menguatkanku. Membuatku bersyukur akan refleksi masa lalu yang membuatku tahan banting, tetap waras di antara jutaan 'kegilaan' yang terus menerus kulakukan kini :)
Saat anak lain sebayaku dengan mudah menginginkan sepeda onthel, aku harus tekun belajar, mengalahkan ego untuk selalu bermain bersama teman-teman sekampung. Demi apa coba? Ya demi sepeda onthel tadi. Aku hanya bisa mendapatkannya bila mendapat ranking di sekolah. Paling tidak rangking 3 lah.
Saat anak lain masih bergelung selimut menikmati Minggu pagi yang indah, aku sudah harus berendam air kolam yang dingin. Bergulat dengan kantuk, malas, dan perasaan teraniaya. Ya, aku merasa teraniaya karena sejatinya aku tak suka disuruh berenang. Apalagi loncat indah yang dengan sangat terpaksa kulakukan. Meloncat dari papan 1 meter maupun 3 meter, terpelanting dan pedas menggigit punggung manakala loncatan tak sempurna, dipikir enak apa ya mengalami itu di usiaku yang baru 6 tahun?
Ketika teman sebayaku bebas memilih kegiatan kesukaan mereka, aku harus menelan barisan kata yang sudah siap terlontar manakala harus menekuni cabang olah raga individual. Padahal dalam hati aku sangat suka volley, olah raga tim yang sangat menyenangkan itu. Akhirnya, aku terus terkungkung di lintasan kolam renang, papan 1 meter dan 3 meter, track atletik untuk sprint maupun jalan raya untuk lomba marathon.
Kala duduk di bangku SMA, masuk ke jurusan IPA merupakan impian tertinggi anak usia belasan. Nantinya mau jadi dokter lah, arsitek, insinyur sipil, bayangan paling umum dan harapan paling keren untuk masa depan. Harapan itu pula yang tersemat di pundakku. Sayang sekali, di usia itu aku sudah berani melakukan pemberontakan. Buat apa susah susah belajar segala rumus yang membuat pusing kalau hanya dengan sekali membaca berbagai buku IPS ulanganku bisa dapat seratus. Kan lebih enak unggul dengan usaha minimal.
Apa coba maksud dari semua tuturan di atas. Mengeluh? Mengutuk? Menyesali nasib?
Tentunya tidak. Justru kini aku sangat bersyukur mendapatkan pelajaran hidup yang sangat lengkap dari semua kejadian di atas. Luka yang diinjeksikan ke dalam diriku oleh seseorang yang bahkan tidak pernah kudoakan dulu itu. Luka itu menguatkanku. Siapakah dia yang tega menorehkan luka itu?
Sebenarnya kurang ajar sekali diriku mengisahkan semua itu dengan embel-embel luka. Bapakku. Ya, bapakku lah yang kutempatkan sebagai aktor antagonis saat aku sedang melakoni semua kejadian yang kunamakan 'luka' tadi. Padahal bila 'agak sehat' sedikit saja, harusnya aku bersyukur sekali saat itu. Bersyukur untuk semua kegigihan yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, yang diajarkan tidak hanya dengan cuma-cuma, malah ada bonusnya banyak sekali. Bonus cinta, kasih sayang, prestasi, ketabahan dan stamina tubuh yang jauh di atas rata-rata anak perempuan pada umumnya.
Duh bapak, aku bisa begini semua karena jasamu. Jasamu yang sama sekali belum bisa kubalas saat Sang Pemberi Hidup telah memberikan jatah hidup untukmu di dunia yang lain tahun 1996 dulu. Sekarang aku bisa apa? Bisa menyesali segala rasa pahitku padamu?
Ah, payah sekali aku waktu itu. Merasa tersiksa kauajar berenang, tapi tertawa bangga luar biasa saat guru olah raga SD memujiku yang sudah mahir berenang 4 gaya di kelas IV. Merasa teraniaya saat latihan loncat indah dari jam dua siang hingga Maghrib, namun kembang kempis hidungku tanda besar kepala saat teman-teman SDku mengelu-elukan keberangkatanku mengikuti tim atlit Jateng ke Jakarta. Menggerutu di belakangmu gara-gara kaupaksa menjadi dokter, tapi malah ngikik-ngikik tak jelas karena bisa dengan mudah dan tanpa usaha yang berarti bisa menjadi juara kelas di jurusan IPS.
Maafkan aku, Bapak. Dulu saat dirimu masih berjaya mengantarkan banyak anak orang berprestasi di beberapa bidang olah raga, anakmu ini justru menjauhimu. Latihan pencak silat di perguruan yang kaupimpin dulu amat sangat kutolak karena aku takut tubuhku akan memar tergampar. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, bukankah akan sangat berguna ya menguasai ilmu pertahanan diri seperti itu.
Masih teringat hingga kini saat suatu hari bapak melakukan sidang terhadapku. Dua nilai E muncul saat semester satu di bangku kuliah. Kegemaran baruku keluyuran di gunung membuatku sering absen kuliah. Indeks prestasi nyaris nasakom (nasib satu koma) hampir saja kudapat. Sebenarnya bukan aktivitas berpetualangnya sih yang membuatku malas belajar. Tidak sreg dengan jurusan yang kuambil inilah yang membuatku melawan. Aku pengin kuliah di UGM, tapi bapak tidak setuju. Akhirnya kuliah di Undip, penginnya di akuntansi. Berhubung gagal di pilihan pertama, aku masih bisa kuliah di jurusan lain sesuai pilihan yang kedua. Saat itu aku ngotot mau daftar yang D3 saja, kan lebih enak cepat lulusnya, bisa segera bekerja. Bapak tidak setuju, tetap harus kuliah S1. Duh kuno sekali. Kuno dan egois, memaksakan kehendak. Itu kata hatiku dulu.
Kini baru bisa kusyukuri semua yang telah lalu. Coba kalau dulu aku jadi kuliah di Yogyakarta, siapa pula yang akan menunggu bapak saat beliau terbaring lemah di rumah sakit. Hanya ibu yang ada di rumah, semua kakakku telah 'mentas'. Aku jadi teringat saat sakarotul maut menghampiri bapakku tercinta, hanya aku yang ada di sampingnya. Sungguh cinta bapak yang luar biasa diberikannya padaku sejak aku lahir hingga beliau menutupkan mata. Cinta seorang pejuang sejati untuk anak-anaknya. Aku adalah sosok seorang anak yang pada usia remaja tak mampu membalas cinta pahlawan sejatiku itu. Padahal sejak aku bayi bapak sayang luar biasa kepadaku, secara aku ini anak bungsu yang usianya terpaut cukup jauh dari ketiga kakakku. Sungguh aku ini anak yang kurang bisa bersyukur. Baru sadar setelah ditinggal bapak pergi. Payah :(
Kerasnya dunia kerja yang kuhadapi sanggup kutaklukkan, alhamdulillah berkat didikan bapakku yang memang keras luar biasa itu. Bahkan saat ini aku sering tersenyum geli, mengingat ke belakang, ke beberapa tahun sebelumnya, saat aku masih terseok-seok mengatasi potensi high temper yang ada di diriku, yang membuatku tampil sebagai mandor galak sekaligus petarung sia-sia terhadap pimpinan. Pimpinan kok diajak 'duel', kemanaaaaa pikiran sehatku waktu itu :)
Kesederhanaan yang diajarkan oleh bapak juga masih membekas hingga kini. Untuk ukuran dosen golongan IVB, bapak tidak memiliki mobil seperti umumnya rekan-rekan dosen lainnya. Rumah pun masih sederhana, bahkan separuh bagian masih semi permanen. Kadang aku berpikir apa yang salah dengan bapakku. Atau mungkin seharusnya aku berpikir sebaliknya ya, apa yang salah dengan dosen lainnya sehingga mereka bisa lebih kaya dari bapakku ;) Tanpa bermaksud mendiskreditkan orang lain, aku cuma bisa menyimpulkan bahwa bapakku 'nggak doyan duit'. Ajaran menghargai sesuatu tidak dari sisi materiil ini yang masih kuingat hingga sekarang.
There will always be a lesson even in a very bad episode. Kadang cepat dipahami, namun lebih banyak yang terlambat menarik hikmahnya. Aku ada di pihak kedua. Sangat terlambat memahami. Namun tetap saja syukur tiada habisnya kupanjatkan di tiap doa yang terkirim untuk pahlawan hidupku. Aku bersyukur memiliki cinta yang tertuang bukan atas nama belas kasihan. Bapakku yang kuanggap sangat tega, terbukti telah sanggup melewati perjuangan tersendiri untuk mengalahkan rasa kasihan pada anak-anaknya, memilih untuk keras dan disiplin demi kesiapan aku dan kakak-kakakku menghadapi kerasnya hidup.
Matur nuwun nggih, Pak, for everything. Semoga tauladan yang kauberi bisa kuterapkan pada anak-anakku kelak meskipun tak sekeras yang kaulakukan. Semoga tak akan ada lagi kata-kata luka itu menguatkanku. Kuharap anak-anakku kelak akan menjadi orang yang peka bersyukur, jauh lebih cerdas dari ibunya yang lamban belajar ini, sehingga nantinya akan selalu berucap : cinta ini cukup untukku.
Note :
- pinjam gambar Everybody Hurts dari younie's heart talk
Note :
- pinjam gambar Everybody Hurts dari younie's heart talk