Donita
tak pernah tau ada semburat cinta yang selalu kupancarkan untuknya. Dia selalu
tak peduli, terlalu sibuk dengan segala urusan dan gadget-gadget tercintanya.
Mata cantiknya itu tak pernah digunakan untuk menikmati keindahan sekitarnya. Misty
brown eyes kalau boleh kubilang. Deretan angka, email dan presentasi bisnis
saja yang dihiraukannya.
Kemampuannya
untuk menaikkan trafik penjualan di divisi marketing memang tak ada yang
meragukan. Product knowledge yang dikuasainya membuat Donita cas cis cus saat
melakukan presentasi di hadapan calon pembeli. Biasanya sekali melihat Donita
presentasi, potential customer akan langsung menurunkan Purchase Order.
Aku
bangga sekali dengan kepiawaian Donita. Tak sia-sia aku merekomendasikan
dirinya kepada big boss waktu itu. Meskipun pada awalnya aku sendiri kurang
yakin akan kemampuannya, kini semuanya berbuah manis. Saat itu aku sekedar
menolongnya. Primadona kampus yang karena satu dan lain hal tak juga kunjung
mendapatkan pekerjaan. Teringat
kembali pembicaraan dua tahun yang lalu itu.
“Sungguh
Pram? Kau bisa merekomendasikan aku masuk ke perusahaan tempatmu bekerja tanpa
harus tes macam-macam?” tanyanya seakan tak percaya.
“Asalkan
kaujanji tak akan membuatku malu, kerjaanmu beres, tutup order terlampaui, apa
lagi?” jawabku enteng. Ya, aku memang sedang butuh asisten handal di divisiku.
Keluar masuk orang di posisi itu, belum ada yang membuatku merasa cocok untuk
mempertahankannya. Biasanya habis masa percobaan tiga bulan aku tak akan
memperpanjangnya. Jadi, apa salahnya kalau kali ini aku memasukkan Donita di
posisi itu meskipun dia memiliki satu kekurangan yang mungkin hanya aku yang
tau di kantor ini. Toh bila memang dia tidak capable, aku bisa tidak
memperpanjang kontraknya. Paling tidak aku sudah menolongnya sesuai
kemampuanku.
Tapi
tak ada putus kontrak, Donita ternyata luar biasa. Dia sangat serius.
Kesungguhannya bekerja patut diacungi jempol. Tidak hanya selalu datang early
di pagi hari, Donita hanya akan pulang bila dia yakin masalah hari itu sudah
diatasi, atau paling tidak dia sudah punya gambaran apa yang akan dilakukannya
besok untuk menghadapi permasalahan yang belum tuntas. Itupun selalu
disampaikannya kepadaku selaku atasannya. Jadi tak heran bila akhirnya trafik
penjualan meningkat sedikit demi sedikit sejak kehadiran Donita. Dia pas sekali
menjadi tandemku. Kami saling melengkapi di divisi ini. Aku tak lagi harus
kepayahan menanggung target bulanan yang biasanya membuatku pusing seribu
keliling.
letak De Opera - The Bay Bali
Atas prestasi itulah big boss menghadiahkan paket liburan untuk divisi yang kupimpin
ini. Aku, Donita asistenku, dan tiga orang salesman bawahanku lainnya
lengkap dengan masing-masing pasangan berangkat ke Pulau Dewata. And here we
are, memanjakan diri di The Bay Bali.
Saat
ketiga salesmanku menikmati bebek krispi nikmat di Bebek Bengil, aku sengaja
mengajak Donita untuk bersantai di De Opera. Suasananya cukup romantis dengan
kilauan kuning lampu-lampu di sepanjang tepian kolam. Tepanyaki performance pun
nanti akan kami lihat di Benihana. Pokoknya pengalaman liburan ke Bali kali ini
tak boleh berakhir hampa. Kubela-belain mencari tempat makan di pinggir laut
yang indah ini untuk berdekatan dengan Donita.
Kusendok
sedikit demi sedikit supku sambil memandangi wajah Donita yang sempurna
terkena kilauan bulan dan lampu. Tirus tulang pipinya tak menyembunyikan
kecantikannya. Aku masih ingat saat kuliah dulu, pipi ranum itu cukup berisi,
bagaikan apel segar yang siap dinikmati. Sungguh berbeda sekali kini pipi itu.
“Bisa
kauletakkan barang sesaat pad-mu itu, Ita?”
Donita
tercengang. Baru kali ini aku memanggilnya dengan panggilannya semasa kuliah.
Di kantor kami semua memanggilnya Mba Donita.
“Saya
baru menyiapkan rencana presentasi dengan Crouching Flag, Pak. Bapak kan ingat
kalau mereka….”
“Kita
sedang tidak bekerja malam ini. Dan ingat, jangan panggil aku dengan sebutan
Pak. Kau kan temanku,” sungutku.
“Tapi
Anda kan atasan saya, Pak Pram.”
“Itu
di kantor, Ita. Di luar itu aku adalah temanmu. Dan kuharap kita bisa lebih
dari teman setelah pulang dari sini.”
Kupandang bola matanya tajam-tajam.
Perlahan-lahan
Donita meletakkan semua gadget yang tadi dipegangnya. Dibalasnya tatapan mataku
dengan tak kalah tajamnya.
“Pram,
selama ini aku menghargaimu. Jangan buat aku menjadi skeptis ya.”
“Kenapa
harus skeptis? Ada yang salah dengan perkataanku tadi?” tanyaku mencecar.
“You
know me so well, Pram. Everything about me and what happened to me for years.”
“So,
kalau kamu tau aku sudah mengenalmu dengan baik, kenapa kaujawab seperti itu.
Apa gara-gara kamu ODHA lantas salah bagiku untuk mencintaimu?”
Kupegang
tangannya perlahan-lahan. Ah, Donita terlalu rapuh. Dia sengaja menutup hatinya
rapat-rapat karena tak mau sakit dan menyakiti. Selama lebih dari satu tahun
dia bekerja menjadi asistenku, aku terus mengamati perkembangannya. Tak pernah
sekalipun Donita berakrab-akrab dengan karyawan lainnya. Dinding batu bernama
AIDS itu telah mencengkeram kebahagiaannya. Hanya kerja dan kerja saja yang
selalu menjadi penyemangat hidupnya.
Sejujurnya
aku iba luar biasa padanya. Namun demi menyemangati hidupnya, tak pernah
sekalipun kutanyakan keadaannya. Apakah dia sudah minum obat tepat waktu, kapan
dia kontrol ke dokter, dan hal-hal kecil seperti itu. Donita pasti akan menjauh
bila kubahas masalah itu. Terlihat dari cara dia menghindari percakapan berbau
urusan pribadi denganku.
“Pram,
aku harap kau tidak gila. Lihat saja, semua orang mencari pasangan yang sehat.
Bahkan memilih makanan pun juga ingin yang sehat. You’ll see Tepanyaki
performance. Kenapa harus seperti itu memasaknya? Cepat dengan sedikit minyak?
Karena itu sehat, Pram,” jawab Donita dengan mata sayu.
“Helloooo,
my lady, masak dirimu kaubandingkan dengan daging dan sayuran yang di-tepanyaki.
Kacau ah orientasimu. Don’t you have any little happiness in your life just
because of this condition?”
Donita
melepas peganganku dengan lemah. Pandangannya penuh luka.
“Aku
tak berani mencintai siapa pun, Pram, terlebih lagi berharap terlalu banyak
padamu.”
What,
Donita mengharapkan sesuatu padaku? Kutarik kembali telapak tangannya yang
kurus itu.
“Kau
berharap apa padaku, Ita?”
“Ah,
tidak Pram, bukan apa-apa,” sahutnya salah tingkah.
“C’mon,
Ita, jujurlah. Apakah selama ini kita memiliki perasaan yang sama?”
Bukannya
menjawab pertanyaanku Donita malah mengemasi tas kecil dan pad yang masih
terletak di meja. Dia tampak akan segera beranjak pergi.
“Sepertinya
saya harus kehilangan pekerjaan lagi kali ini. Sepulang dari Bali, saya akan
menyerahkan surat pengunduran diri, Pak Pram.”
Suara manis itu kembali dingin
menusuk. Seperti biasanya.
Kupandang
punggung kurus Donita yang mencoba berlalu dari hadapanku. Aku tak akan
membiarkan ini terjadi. Cepat kutangkap pergelangan tangan dan bahu Donita. Kupegang
dan kubalik badannya sehingga kami bertatapan begitu dekat.
“Apa
maksudmu dengan perkataan itu?”
“Saya
tak mau anda menjadi orang gila kesekian yang memiliki khayalan kosong, Pak.
Saya adalah orang yang tak patut menerima cinta siapapun. Itu sangat anda
ketahui. Jadi jangan rendahkan saya dengan omong kosong soal cinta dan
kebahagiaan ini,” jawabnya ketus.
“Dan
jangan pernah kasihani saya dengan cara seperti ini.” Kalimat terakhir yang
sangat membuatku terpukul.
Kutatap
kepergiannya dengan nelangsa. Apa sebenarnya salahku? Apa juga salah Donita?
Aku tak pernah tau darimana dia terpapar penyakit itu. Yang aku tau dia adalah
gadis yang baik, pintar dan sungguh-sungguh saat bekerja. Aku tidak kasihan
padanya. Justru rasa sayangku timbul bukan karena dia menyandang penyakit
tersebut. Dari sejak kuliah aku memang naksir Donita. Hanya karena aku bukan
mahasiswa ganteng ataupun pintar, aku tak pernah berani mendekatinya.
Kulemparkan kembali diriku di kursi. Kudengarkan nyanyian ombak yang terdengar begitu hampa kali ini. Salahkah aku bila ingin mendapatkan sedikit kebahagiaan bersama Donita?
Kulemparkan kembali diriku di kursi. Kudengarkan nyanyian ombak yang terdengar begitu hampa kali ini. Salahkah aku bila ingin mendapatkan sedikit kebahagiaan bersama Donita?
Blogpost ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letter of Happiness :
Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
Apik kisahnya
BalasHapusSemoga berjaya ya Jeng
Salam hangat dari Surabaya
suwun pakdhe
HapusJadi karena penyakitnya Donita memilih menjauh dari orang2 yang berniat mendekatinya ya?
BalasHapusKasihan sekali....
Semoga menang ya Mak.
Iya Mba Reni, padahal Pram benar-benar menyayanginya :(
HapusSuwun ya Mba.
knapa ya blog mak uniek gak update di blog list aku jadi telat mampir terus nih
BalasHapusayolah dimasukkan top list hehehee....
Hapuscantik pemandangan the bay Bali. Semoga memang, Mak
BalasHapusIya, bagus banget The Bay Bali, Mak Chi. Entah kapan aku bisa nyampe ke sana ;)
Hapussalam kenal dan semoga menang ya mb :)
BalasHapusHai, salam kenal balik yaaa... Terima kasih.
HapusIngin kupanggil Donita, namun lagu gulungan ombak itu menghentikan gerak bibirku, aku termangu...
BalasHapus*) Bagus Mbak Uniek.... Sungguh!
Wuih, tambahan dari Pak Ustadz mantep bener. Iya, koq gak kepikiran nulis itu yaaa.. keren bener padahal klo ditambahi itu.
HapusMatur nuwun njih :)
Hiks... mbrebes mili aku bacanya. Huaaaaa.... sediiiih.
BalasHapusMak Uniek jago deh bikin cerpen. Keren.
Sukses, GA-nya ya. :)
Terima kasih Mak Nia sudah mampir :) aiiihh baru belajar ini mak...
HapusPantes nek jadi penulis cerpen kiye, diajengku...apik jeee...
BalasHapuskisah yg unik,,mencintai orang dengan ODHA,,itu butuh tekad yg luarbiasa...
BalasHapusselamat berlomba semoga menjadi yg terbaik....
keep happy bloggging always...salam dari Makassar :-)
kisahnya mengalir, enak dibaca meskipun pedih
BalasHapusmencintai orang yang 'sakit' memang penuh perjuangan ya, mak
Semoga sukses ya
Mbaaak, ini buat lomba kah?
BalasHapusaku kira postingan biasa, keren lah..pantesan suka menang lomba fiksi :)
Kereen..goodluck Mbak Uniek.. :)
BalasHapusbagus mbak uniek....
BalasHapus