Kubawa kakiku melangkah dengan lunglai. Baru saja kutinggalkan kantor pos setelah menempelkan cukup perangko di kartu pos yang terkena banyak noda minyak bekas gorengan.
Aku pasrah, Shela hilang. Maafkan aku.
Ya, Pawit harus tau kabar itu. Bagaimana pun juga Shela itu kesayangannya. Tak ada nyaliku untuk mengirim SMS ataupun menelponnya. Biarlah, lewat kartu pos saja. Semoga nanti sampai di Semarang sana setahun kemudian karena pak posnya lupa memasukkan kartu itu ke tasnya.
Kuseberangi jalan yang padat di siang terik. Hampir tak kuperhatikan lalu lalangnya mobil yang berseliweran di perempatan. Keringat bercucuran dari dahiku, luar biasa panggangan mentari saat itu.
Kutoleh si Manusia Akar yang tak pernah letih berdiri di situ. Ingin rasanya menjadi dia yang tak perlu risau saat kehilangan seperti ini. Tak usah bingung harus mencari kemana dan memberikan penjelasan macam-macam. Kadang-kadang dunia memang tidak adil.
Benteng Vredeburg sudah kulalui. Biasanya aku suka berhenti di sana dan selfie, lumayan untuk bahan update status facebook. Tapi kali ini tak ada minat sama sekali. Aku kepengin segera sampai ke Beringharjo. Mau belikan sate kere untuk mama. Selalu begitu, setiap kali aku hendak jalan ke arah sini, hanya ada sate kere di benak mama. Hmmm... padahal aneka barang ada di Malioboro loh, kok ya cuma sate kere saja yang diingat-ingat.
Tiupan angin yang segar tiba-tiba menghambur di sebelah kananku. Saat aku sedang menoleh ke arah bapak penjual jadah bakar, terpaan angin segar menghampiriku. Aaahh... akhirnya tak jadi aku memperhatikan jadah bakar yang melambai-lambai itu. Istana Theklek lebih menarik minatku. Hawa dingin AC yang menguar keluar bercampur dengan wanginya pengharum ruangan membuatku tergoda untuk mampir.
Bapak penjual jadah itu berjualan di trotoar depan Istana Theklek. Warna dinding depan yang coklat kusam itu seakan berjodoh dengan keriput tua si bapak. Memang, pertama kali saat orang melirik ke Istana Theklek, pasti akan mengira bahwa bangunan itu adalah toko tua tempat aneka theklek dijual.
Tau theklek kan? Itu tuh, kalau orang bilang sandal bakiak. Ya, klompen kayu yang bila dikenakan akan berbunyi tok tok kletek tek teklek... Itulah kenapa sandal kayu itu akhirnya diberi nama theklek. Jaman sekarang mana ada sih yang mau pakai sandal model begitu lagi. Kecuali di tempat ini tentunya. Si theklek itu nangkring dengan manisnya di dinding depan Istana Theklek, dijajarkan hingga membentuk ornamen yang aku sendiri tak paham apa bentuknya. Seperti bunga, tapi kok aneh. Semacam bentuk abstrak yang tak jelas apa maksudnya.
Istana Theklek bukan toko sandal, saudara-saudara. Dia itu cafe dan perpustakaan yang ada di kawasan Malioboro. Konsepnya homey banget deh, berasa di rumah kampung gitu. Untuk orang desa sepertiku, tentunya canggung bila harus nongkrong di library cafe yang bernuansa modern. Perasaan jadi minder deh bila harus berada di tempat seperti itu. Makanya, kehadiran Istana Theklek ini bagaikan sorga dunia untukku yang haus bacaan. Menikmati berbagai buku dengan modal yang hanya cukup untuk membeli segelas es teh pun tak mengapa.
Beda Istana Theklek dengan tempat-tempat sejenis adalah semua pengunjung di sini harus melepas alas kaki yang semula dipakai dan menggantinya dengan theklek yang telah disediakan oleh pengelola. Berbagai macam theklek berjajar rapi di rak-rak khusus menanti penggunanya berdatangan. Ada yang berwarna coklat biasa, ada yang bergambar batik, bahkan yang paling norak sekalipun yaitu berwarna pink bunga-bunga pun ada. Justru yang norak satu itu malah paling laris.
Pernah sekali waktu aku sengaja datang pagi ke sana agar bisa mendapatkan theklek pink bunga-bunga itu. Eh, oleh mbak penjaga rak, theklek itu tidak dikasih pinjam. Malah diberi theklek garis-garis biru yang membuatku tampak seperti mengenakan celana piyama yang kepanjangan hingga ke kaki. Sungguh menyebalkan. Ternyata usut punya usut, mbak penjaga itu telah disogok oleh segerombolan anak SMP tengil untuk menyimpankan theklek unyu itu untuk mereka sepulang sekolah nanti. Padahal ya cuma disogok sama gelang lima ribuan dari lapak sepanjang Malioboro lho, kok ya mau dia.
Nah, kupikir-pikir nih ya, daripada stress keluyuran cari sate kere dan pening kehilangan Shela, mendingan ngadem di sini dulu lah. Kapan hari aku baru membaca separuh buku Ibuku Berbeda, enaknya lanjutin aja ah. Tulisan teman-temanku banyak yang masuk ke buku antologi itu. Aku mau belajar dari tulisan-tulisan itu, siapa tau nanti aku bisa juga jadi penulis seperti teman-temanku. Mendingan jadi penulis kan daripada stres mikirin Shela.
Deg. Ingat Shela saat mataku tertuju pada theklek warna hijau tua bermotif tentara. Sepasang theklek yang membuatku galau tak berkesudahan itu nangkring dengan manis di kaki seseorang. Sumpah, di seluruh penjuru dunia hanya ada satu theklek jelek macam itu. Dan dialah Shela. Theklek kesayangan Prawit, kakakku yang paling ganteng sekamar tidurnya (dia tidur bareng Sherly, kucing kampung kesayangannya, berjenis kelamin betina).
"Lho, Nggit, ngapain awakmu di sini?" tanya si pemakai Shela tadi.
"Lik Dar, kok itu sandale Mas Prawit dipakai? Nggak bilang-bilang pula," sungutku kesal.
"Halah halah, lha wong cuma theklek wae lho kamu geger, Nduk. Kapan itu pas paklik datang ke rumahmu, sandal paklik jebat (rusak). Ya pinjem theklek ini karena hanya itu satu-satunya sandal yang ada di dekat pintu."
Healah, kalem sekali Lik Dar menjawab pertanyaanku. Tidak tau dia aku sudah panik setengah hidup mencari Shela. Prawit sudah berkali-kali bilang padaku agar merawat Shela dan Shirley baik-baik selama dia kos di Semarang sana.
Jengkel pada Lik Dar yang seenaknya saja, namun juga lega karena Shela sudah ketemu.
"Enaknya pakai theklek ini ya Nduk, aku tidak harus melepaskan alas kaki saat masuk ke sini. Jadi enggak khawatir kakiku ketularan panu dari pemakai theklek-theklek pinjeman yang ada di rak itu."
Yeks... otomatis kukibaskan theklek polkadot oranye yang baru saja kukenakan. Hiiiiyyy....
Notes :
Gambar theklek dipinjam dari Kata Kita.
Cover buku Ibuku Berbedar dipinjam dari Diva Press.
Kutoleh si Manusia Akar yang tak pernah letih berdiri di situ. Ingin rasanya menjadi dia yang tak perlu risau saat kehilangan seperti ini. Tak usah bingung harus mencari kemana dan memberikan penjelasan macam-macam. Kadang-kadang dunia memang tidak adil.
Benteng Vredeburg sudah kulalui. Biasanya aku suka berhenti di sana dan selfie, lumayan untuk bahan update status facebook. Tapi kali ini tak ada minat sama sekali. Aku kepengin segera sampai ke Beringharjo. Mau belikan sate kere untuk mama. Selalu begitu, setiap kali aku hendak jalan ke arah sini, hanya ada sate kere di benak mama. Hmmm... padahal aneka barang ada di Malioboro loh, kok ya cuma sate kere saja yang diingat-ingat.
Tiupan angin yang segar tiba-tiba menghambur di sebelah kananku. Saat aku sedang menoleh ke arah bapak penjual jadah bakar, terpaan angin segar menghampiriku. Aaahh... akhirnya tak jadi aku memperhatikan jadah bakar yang melambai-lambai itu. Istana Theklek lebih menarik minatku. Hawa dingin AC yang menguar keluar bercampur dengan wanginya pengharum ruangan membuatku tergoda untuk mampir.
Bapak penjual jadah itu berjualan di trotoar depan Istana Theklek. Warna dinding depan yang coklat kusam itu seakan berjodoh dengan keriput tua si bapak. Memang, pertama kali saat orang melirik ke Istana Theklek, pasti akan mengira bahwa bangunan itu adalah toko tua tempat aneka theklek dijual.
Tau theklek kan? Itu tuh, kalau orang bilang sandal bakiak. Ya, klompen kayu yang bila dikenakan akan berbunyi tok tok kletek tek teklek... Itulah kenapa sandal kayu itu akhirnya diberi nama theklek. Jaman sekarang mana ada sih yang mau pakai sandal model begitu lagi. Kecuali di tempat ini tentunya. Si theklek itu nangkring dengan manisnya di dinding depan Istana Theklek, dijajarkan hingga membentuk ornamen yang aku sendiri tak paham apa bentuknya. Seperti bunga, tapi kok aneh. Semacam bentuk abstrak yang tak jelas apa maksudnya.
Istana Theklek bukan toko sandal, saudara-saudara. Dia itu cafe dan perpustakaan yang ada di kawasan Malioboro. Konsepnya homey banget deh, berasa di rumah kampung gitu. Untuk orang desa sepertiku, tentunya canggung bila harus nongkrong di library cafe yang bernuansa modern. Perasaan jadi minder deh bila harus berada di tempat seperti itu. Makanya, kehadiran Istana Theklek ini bagaikan sorga dunia untukku yang haus bacaan. Menikmati berbagai buku dengan modal yang hanya cukup untuk membeli segelas es teh pun tak mengapa.
Beda Istana Theklek dengan tempat-tempat sejenis adalah semua pengunjung di sini harus melepas alas kaki yang semula dipakai dan menggantinya dengan theklek yang telah disediakan oleh pengelola. Berbagai macam theklek berjajar rapi di rak-rak khusus menanti penggunanya berdatangan. Ada yang berwarna coklat biasa, ada yang bergambar batik, bahkan yang paling norak sekalipun yaitu berwarna pink bunga-bunga pun ada. Justru yang norak satu itu malah paling laris.
Pernah sekali waktu aku sengaja datang pagi ke sana agar bisa mendapatkan theklek pink bunga-bunga itu. Eh, oleh mbak penjaga rak, theklek itu tidak dikasih pinjam. Malah diberi theklek garis-garis biru yang membuatku tampak seperti mengenakan celana piyama yang kepanjangan hingga ke kaki. Sungguh menyebalkan. Ternyata usut punya usut, mbak penjaga itu telah disogok oleh segerombolan anak SMP tengil untuk menyimpankan theklek unyu itu untuk mereka sepulang sekolah nanti. Padahal ya cuma disogok sama gelang lima ribuan dari lapak sepanjang Malioboro lho, kok ya mau dia.
Deg. Ingat Shela saat mataku tertuju pada theklek warna hijau tua bermotif tentara. Sepasang theklek yang membuatku galau tak berkesudahan itu nangkring dengan manis di kaki seseorang. Sumpah, di seluruh penjuru dunia hanya ada satu theklek jelek macam itu. Dan dialah Shela. Theklek kesayangan Prawit, kakakku yang paling ganteng sekamar tidurnya (dia tidur bareng Sherly, kucing kampung kesayangannya, berjenis kelamin betina).
"Lho, Nggit, ngapain awakmu di sini?" tanya si pemakai Shela tadi.
"Lik Dar, kok itu sandale Mas Prawit dipakai? Nggak bilang-bilang pula," sungutku kesal.
"Halah halah, lha wong cuma theklek wae lho kamu geger, Nduk. Kapan itu pas paklik datang ke rumahmu, sandal paklik jebat (rusak). Ya pinjem theklek ini karena hanya itu satu-satunya sandal yang ada di dekat pintu."
Healah, kalem sekali Lik Dar menjawab pertanyaanku. Tidak tau dia aku sudah panik setengah hidup mencari Shela. Prawit sudah berkali-kali bilang padaku agar merawat Shela dan Shirley baik-baik selama dia kos di Semarang sana.
Jengkel pada Lik Dar yang seenaknya saja, namun juga lega karena Shela sudah ketemu.
"Enaknya pakai theklek ini ya Nduk, aku tidak harus melepaskan alas kaki saat masuk ke sini. Jadi enggak khawatir kakiku ketularan panu dari pemakai theklek-theklek pinjeman yang ada di rak itu."
Yeks... otomatis kukibaskan theklek polkadot oranye yang baru saja kukenakan. Hiiiiyyy....
Notes :
Gambar theklek dipinjam dari Kata Kita.
Cover buku Ibuku Berbedar dipinjam dari Diva Press.
Theklek, kalau dalam bahasa sunda, bakiak, mak. Wah, mak Uniek ada di antologi itu toh? *kepo :))
BalasHapusTheklek, dulu sandal ini jadi rebutan dii kost. Bunyinya yg "berisik" jd rebutan bg anak kos yg lg pengin nyari perhatian :)
BalasHapusAku suka pake theklek alias bakiak... suka inget kenangan masa kecil kalo ke masjid. ^^
BalasHapusAku dulu seneng pake theklek karena bunyinya bikin simbahku gak bisa tidur siang ;)
BalasHapus#puthunakal
bakiak biasanya untuk shoolat ke masjid nih kalau ditempat ortuku supaya gak hilang :) mak unike aku ketinggalan postingannay terus nih karnea gak update di bloglistku
BalasHapusTheklek kecemplung kalen. Ketimbang golek aluwung balen. He...7x
BalasHapus