Terheran-heran aku membaca salah satu buku yang sempat kubeli karena rasa penasaran. Kecenderungan remaja untuk mencari bahan bacaan melalui salah satu aplikasi di smartphone tentu saja mengundang rasa ingin tahu pada diriku. Penasaran dan ingin mencari tahu letak cacat sastra yang kian lama kian menghantui.
Di masa sebelumnya, orang hendak menerbitkan buku itu harus melalui proses yang bertahap. Dimulai dari mengumpulkan ide, menata alur, menuliskannya dan melamar kesana-kemari agar tulisannya itu bisa diterbitkan.
Masuk ke masa yang sering dibilang orang sebagai jaman now, sepertinya mempublikasikan karya dalam bentuk tulisan, baik berupa cerpen maupun novel, rasanya kok sangat gampang. Nggak perlu tuh diedit-edit dan diperbaiki tata dan logika bahasanya.
Tanpa bermaksud mengecilkan usaha yang telah dilakukan oleh seorang penulis novel melalui media daring, aku hanya ingin berbagi keluh kesah atas ketidakpuasanku memahami hasil karya seseorang. Mungkin akan lebih nyata dan mudah dipahami ya jika kuceritakan dengan contoh kejadian yang benar-benar kualami sendiri.
Memahami Karya Sastra Lampau Versus Jaman Now
Sejak kecil aku sangat antusias melihat buku. Gemar melakukan penghematan di sana-sini hanya untuk memenuhi kegemaranku membeli buku. Hal ini berlangsung hingga sekarang.
Antusiasme itu tak hanya sekadar dalam memiliki buku saja (walaupun itu yang terjadi sekarang ini), namun juga berlaku untuk membacanya hingga habis, bahkan berulang-ulang. Ketika murid lain menghela napas dan merasa sengsara ketika diminta membaca Sitti Nurbaya : Kasih Tak Sampai, dengan penuh rasa penasaran aku ingin tahu apa yang terjadi dengan kisah cinta si Uni Sitti ini. Ngapain sih kok dia malah akhirnya menikah dengan tokoh antagonis yang nyebelin banget bernama Datuk Meringgih. Padahal kan dia sudah memiliki kekasih yang tampan, yaitu Samsulbahri.
Bertahun-tahun kemudian, setelah masa SMP berlalu, aku baru memahami dengan logika sepenuhnya, bahwa karya Marah Rusli tersebut merupakan usahanya melakukan perlawanan atas adat pernikahan dengan sistem perjodohan. Juga terkandung upaya untuk menyuarakan kemandirian perempuan yang saat karya sastranya itu diterbitkan, dipandang sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku saat itu.
sumber : purwokertoantik.com |
Aku juga senang membaca koleksi buku terkait Mahabharata karya RA. Kosasih. Generasi komik masa kini malah menganggapnya sebagai Bapak Komik Indonesia. Komik legendaris Mahabharata karya Raden Ahmad Kosasih ini kubaca ketika berlibur ke rumah nenekku. Beliau amat menggemari kisah-kisah pewayangan seperti Mahabharata dan Ramayana. Jujur saja, komik RA. Kosasih ini tak kalah menariknya dibandingkan dengan komik Album Cerita Ternama, komik masyhur tahun 80an yang menceritakan berbagai kisah legendaris dunia.
Komik wajib bacaan anak 80an 😉 |
Menyesal sekali rasanya ketika koleksi komik Album Cerita Ternama milikku hancur dimakan rayap. Setelah menikah aku memang pindah rumah, tak lagi tinggal dengan orangtuaku. Semua koleksi buku masa kecil masih ada di sana. Sayang sekali aku tak merawatnya hingga lapuk ditelan masa dan menjadi santapan rayap, hiks...
Sembari menikmati karya sastra Indonesia, aku juga membaca berbagai novel anak-anak karya Enid Blyton yang begitu melegenda, seperti Lima Sekawan, Sapta Siaga, Si Kembar, dan Si Badung. Orang-orang yang lahir di tahun 1970an pasti tahu dengan buku-buku ini.
Novel serial Noni, sumber foto : shopee.co.id |
Bahkan dulu sengaja aku membeli semua novel karya Bung Smas, Noni, dimana tokoh utamanya adalah seorang anak perempuan tomboy yang tinggal di Semarang. Senang sekali mengetahui ada penulis novel yang bersedia mengangkat kota tempat tinggalku ini sebagai setting tempatnya.
Tak ketinggalan karya-karya Arswendo yang diterbitkan dalam serial novel Imung, juga novel detektif anak Sersan Grung-Grung karya Dwianto Setyawan, memperkaya literaturku tentang dunia fiksi. Kesukaanku pada buku-buku fiksi ini rupanya terus berlanjut hingga sekarang.
Membaca novel melalui aplikasi telepon pintar sumber foto : pexels.com (Perfecto Capucine) |
Kemajuan teknologi memang merupakan konsekuensi dari kemajuan jaman. Semua bergerak sesuai dengan tingkat kebutuhan dan keberdayaan manusia. Selain itu, tuntutan untuk membiasakan budaya hijau alias ramah lingkungan, orang lebih memilih membaca sesuatu yang paperless.
Apapun media yang digunakan, sebenarnya tidak menjadi masalah. Hanya saja, ada beberapa poin penting yang membuatku geleng-geleng kepala terkait sastra Indonesia di masa kini.
Sastra? Apa itu? Kedengarannya kuno ya?
Itulah jika kita tak memiliki niat untuk mencari tahu tentang sesuatu yang tidak benar-benar kita mengerti. Sastra merupakan kata serapan dari Bahasa Sanskerta yang memiliki arti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman" (sumber : id.wikipedia.org). Sedangkan karya sastra bisa diartikan sebagai hasil karya manusia dalam bentuk lisan maupun tulisan, yang menggunakan bahasa sebagai media pengantar, memiliki nilai estetik (keindahan bahasa) yang dominan.
Jika saat ini makin banyak orang yang menyalurkan karya sastranya melalui media daring, tak ada yang salah. Pilihan media yang digunakan bebas saja lah, sepanjang bisa memberikan nilai tambah dalam dunia literasi.
Lalu kenapa tadi aku geleng-geleng kepala?
Saat ini anak sulungku telah masuk masa remaja, dimana bacaannya sudah mulai naik level. Tadinya dia membeli ratusan buku anak, karya para penulis cilik Indonesia. Mengikuti pergerakan hormon dan perubahan selera, saat ini anakku sudah masuk ke fase memilih bacaan teenlit.
Banyak novel genre teenlit yang bagus yang pernah kubeli juga untuk memperkaya diksi saat membuat tulisan. Salah satu hal penting yang tidak bisa ditinggalkan, bahkan oleh seorang penulis fiksi sekalipun, adalah logika bercerita.
Jika kita membaca karya tulisan fiksi fantasi, imajinasi kita memang dibawa terbang tinggi ke khayalan tak berbatas. Namun logika cerita tetap ada di sana. Bukan mentang-mentang kisahnya berupa fantasi, lalu penulisnya bebas bercerita dari A lalu langsung loncat ke Z tanpa ada runtutan yang bisa dipahami oleh pembacanya.
Nah, anakku ini meminta untuk dibelikan novel yang dicetak berdasarkan banyaknya pembaca pada salah satu platform bacaan daring. Penasaran dong seperti apa sih novel tersebut. Maka timbullah semua keluh kesah yang sedari tadi kutuliskan di atas.
Aku sungguh takjub, betapa mudahnya seseorang menyajikan cerita, yang dari penggunaan kata-katanya saja sudah tidak pakem. Pakem dalam hal ini bukan masalah penggunaan kata-kata selengekan ya, tapi lebih pada aturan baku penulisan. Misal menulis frase kata yang benar adalah "di rumah" bukan "dirumah", juga penggunaan kata "dimakan" bukan "di makan".
Cacat penulisan seperti ini amat membuatku gelisah. Kok ya bisa naskah seperti itu tidak dikoreksi oleh editor penerbitan ketika buku tersebut naik cetak. Duuuhh...
Selain itu, tema-tema yang diangkat tentang percintaan, terkadang mengundang tanya. Kebanyakan bercerita tentang cowok ganteng bin tajir yang harus banget dipasangkan dengan cewek biasa-biasa saja dari keluarga tak mampu. Kok kayak kurang bahan cerita gitu loh.
Aku sampai harus berdiskusi panjang lebar dengan anak perempuanku yang sudah remaja ini, apa sebenarnya yang didapatnya dengan membaca buku-buku seperti itu. Bagi penulisnya sih terserah saja ya, dia bebas berkarya dengan bentuk tulisannya sendiri. Hanya saja aku tidak rela, bahan bacaan anakku diisi oleh buku-buku yang cacat sastra seperti itu.
Cacat sastra yang kumaksud ini terkait dengan kurangnya literasi dari penulisnya sehingga tema yang diusung terkesan datar. Selain itu, nilai-nilai luhur dari bangsa Indonesia pun jarang diangkat. Siapa yang bilang jika tulisan romantis tak bisa disusun dengan menyertakan budaya bangsa di dalamnya?
Pemilihan diksi dan logika cerita juga amat mempengaruhi kualitas tulisan. Kemampuan berbahasa dengan baik ini menjadi salah satu ciri orang dengan tingkat literasi tinggi. Darimana tingkat literasi itu didapat? Tentu bersumber dari bahan bacaan yang bukan hanya satu atau dua buku saja.
Hari Aksara Internasional - 8 September 2020
Bukan tanpa alasan ditetapkannya tanggal 8 September sebagai Hari Aksara Internasional. Jika kita menilik sejarah, pada tanggal 8-19 September 1965 dilangsungkan konferensi terkait dengan pemberantasan buta huruf. Konferensi tersebut dilaksanakan di Teheran, Iran.
Berawal dari konferensi tersebut, kemudian UNESCO menetapkan tanggal 8 September sebagai Hari Aksara Internasional. Perhatian khusus diberikan kepada upaya pemberantasan buta huruf di seluruh dunia. Dari hari ke hari memang makin membaik kemampuan masyarakat untuk membaca.
Apakah mampu membaca itu otomatis membuat seseorang juga melek literasi?
Literasi lebih terkait pada kemampuan dan ketrampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, berhitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Disinyalir saat ini makin banyak orang yang gemar membagi informasi saat itu juga begitu mendapatkannya melalui gadget tanpa merasa perlu untuk meyakinkan diri apakah informasi itu benar atau tidak.
Apakah itu kita? Mari kita bertanya pada diri sendiri.
Kecakapan menggunakan bahasa sebagai penyampai pesan memang tak bisa dalam sekejap dipelajari. Butuh bertahun-tahun dan usaha yang tiada kenal lelah untuk mengasah kemampuan berbahasa tersebut.
Aku salut pada beberapa penulis yang mampu menyajikan cerita dengan pilihan diksi yang sangat kaya. Salah satunya adalah Seno Gumira Ajidarma. Masih ingat dengan film berjudul Biola Tak Berdawai yang tayang tahun 2003? Ah, sudah lama yaaa.. Dari film itulah Seno Gumira Ajidarma menulisnya menjadi bentuk novel.
Dari beberapa review novel Biola Tak Berdawai yang kubaca, pembaca novel yang juga menonton filmnya, rata-rata menuliskan banyak kelebihan yang disajikan novel dibanding filmnya. Mas Seno Gumira begitu lihai memilih diksi untuk menyampaikan bagaimana dunia itu dipandang dari sosok seorang anak tunadaksa.
Ada yang bilang kalau sastrawan masa lampau itu lupa bahwa perkembangan jaman membuat kegemaran orang membaca beralih melalui gadget, bukan naskah cetak lagi. Harusnya mereka mampu menyesuaikan dengan peralihan ini.
Secara pribadi aku kurang setuju dengan pendapat ini. Sekali lagi penekanan yang kupahami, bukan tentang medianya ya, namun kemampuan berbahasa yang kurang mendapat perhatian khusus. Mengikuti perkembangan jaman dan menangkap lalu-lintas informasi secara cepat dari berbagai portal maupun media sosial, semestinya tidak mematikan semangat membaca. Membaca dalam arti sebenar-benarnya membaca buku dan referensi penting lainnya, bukan hanya membaca lintasan update di media sosial saja.
Menjadi terhubung dengan banyak pihak melalui cara daring merupakan hal yang wajar di jaman sekarang. Hanya saja, pilihan untuk terhubung itu diarahkan untuk kepentingan apa? Apakah ada esensi untuk selalu belajar di dalam keterhubungan itu?
Kembali lagi pada keluhanku sejak awal tentang cacat sastra dalam karya penulis, lalu timbul pertanyaan : Apakah penulis sekarang itu kurang banyak bahan bacaannya?
Hmmm... itu pertanyaan untuk kita semua. Baik penulis ataupun bukan, saat ini sudah berapa banyak buku yang kita baca?
Saya salah satu penikmat novel-novel yang ada di salah satu platform menulis orange mbak, kalau pas lagi nggak punya stok novel atau pas langganan GD Online belum diperbarui.
BalasHapusMenurut saya yang cukup 'pemilih' soal novel yang akan saya baca, di platform orange itu banyak sekali tulisan berkualitas dan bagus lho, mbak. Cuma saya sendiri juga heran banget, karna sebagian yang diterbitkan oleh penerbit besar justru yang masih banyak 'cacat' gitu.
Jadi inget Bulik2 sama Omku yang selalu beliin aku buku2 anak, komik, karena tau ponakannya anteng di rumah dengan kesendiriannnya.
BalasHapusBeranjak naik level novel2 rajin dibeliin karena sering dapet tugas sekolah, sinopsis novel Siti Nurbaya hahahaa, yang penomenal pada jamannya yaa, karya2 Nh Dini, dll sampe hafal cerita2 rakyat yaa.
baru aja kemarin lihat di twitter ada yang nawarin jasa penulisan skripsi dll, tapi pakai spasi sebelum dans sesudah tanda baca :) pas di kritik malah marah2, masa hal sederhana gitu ga ngerti tapi berani terima jasa penulisan yak mba :) lucu
BalasHapusJadi inget dulu suka koleksi buku Wiro sableng sama buku Lupus karya Hilman. Setiap pulang sekolah setelah ngerjain PR aku langsung baca buku-buku itu. Sekarang bukunya udh entah kemana 😅
BalasHapusSetuju sama Mbak Uniek. Itu pun yang menjai kegelisahan saya.
BalasHapusMau medianya apa saja, kemampuan berbahasa tetaplah penting. Mau itu di blogyang katanya nulisnya lebih gaul, tetap harus sesuai kaidah bahasa Indonesia, bukan berarti gaul itu seenaknya. Seenaknya di antaranya seperti "kemarin" menjadi " kemarinan", "lapak" menjadi "lapakan". Menjadi penulis blog, bisa saja kita ditiru oleh orang lain. Sayang sekali jika orang mengira cara kita menulis/berbahasa sudah bagus dan menirunya padahal tidak.
waaah hubbyku juga punya beberapa buku jadulnya nih hihihi, hubbyku koleksi juga dan sampe nggak boleh dipinjem sama orang hihihi
BalasHapusMba Uniek! kurindu serindu-rindunya ama karya Marah Rusli itu.
BalasHapusSaya dulu baca semua romannya (eh namanya roman kan ya? :D), mulai dari Sitti Nurbaya, Salah Asuhan apa lagi ya, semuanya itu bikin saya rela menghabiskan banyak waktu di perpustakaan biar kebagian minjam buku-buku itu.
Lalu saya nonton tenggelamnya kapal Van Der Wijck, memelaah dialognya, jadi teringat kembali banyaknya bacaan saya waktu dulu :D
Tapi betul sekali Mba, bukan hanya di buku Mba, kalau buku kayaknya akibat banyaknya bermunculan penerbit indie, atau juga kurang teliti ya, yang namanya kaidah penulisan yang benar itu udah dilupakan.
Dan lucunya, bahkan di web berita besar loh, banyak banget hal-hal kesalahan demikian yang terjadi.
Wah, aku baru sadar setelah baca postingan ini Mba.
BalasHapusDengan sikap abai terhadap cacat sastra ini, nggak heran anak jaman now tidak sedikit yang mentalnya kayak rapuh dan hatinya beku gitu ya.
Karena bahasa kan memengaruhi jiwa juga
Novel remaja sekarang memang terasa perbedaanya dalam hal bahasa, terutama dari pakem bahasa slang dan frase imbuhan yang buat saya sakit kepala dan bingung
BalasHapusAku pernah iseng baca cuplikan cerita di FB yg diambil dari suatu platform. Sayangnya aku tak mampu meneruskan membacanya di platform itu, krn membaca cuplikannya saja sudah tak nyaman. Ada banyak cacat2 seperti yg disebutkan di sini..yg aku orang awam saja merasakan kejanggalan itu..tapi kenapa cerita2 seperti itu malah booming ya? Haha..entahlah...
BalasHapusmirip FTV yang di TV juga mbak.....skenario jelek,,alur cerita pun yang menurutku penggemar film sangat mudah ketebak...bgung jg saya..apa yg trjdi di indonesia
BalasHapusKalau pakem yang Mbak Uniek maksud, saya juga setuju. Apalagi kalau sudah ada editor. Ya harusnya bisa lebih diperbaiki.
BalasHapusCerita tentang cowok tajir yang menyukai cewek biasa aja udah membosankan. Dari sejak zaman telenovela kayaknya dasar ceritanya begitu melulu
Hari aksara dan tulisan mbak ini jadi self reminder banget nih buat aku untuk selalu membaca, memang selama ini bacanya hanya artikel di media saja, untuk buku masih bisa terhitung jumlah buku bacaan dalam setahun.. semoga bisa lebih konsisten dan disiplin baca buku ya buat aku
BalasHapusBisa jadi. Sekarang banyaknya serba instan. Jadi penulis jaman sekarang semudah datang dan pergi. Beda dengan penulis jaman dahulu bisa karena terbiasa. Ditambah tempaan alam dan jaman. Saat semua fasilitas minim mereka terus mengasah kemampuan. Bukan seperti penulis jamna sekarang, segala dimanjakan aplikasi
BalasHapusSelamat Hari Aksara, Mbak Uniek. Itu ada foto Noni, bacaanku masa kecil juga. Kalau bicara tentangliterasi memang tak ada habisnya ya. Saat ini malah generasi sekarang seolah kurang peduli dengan bahasa. Sangat disayangkan. Yuk, kita mulai lagi memasyarakatkan kebiasaan membaca buku dan menggunakan bahasa dengan baik dan benar
BalasHapusApa aku yang ga memperhatikan yah karena jujur aku ga suka sih mba sama teenlit semacam itu apalagi ya kisah percintaan yg kesannya halu ya cowok tajir sama cewek biasa wkwk makanya kaget juga baca ini ternyata kaidah tata bahasa kurang diperhatikan jadi waswas yah
BalasHapusAku juga baca buku Siti Nurbaya waktu SMP, kayanya anak sekolah skr jarang baget baca sastra. NAh waktu SD aku dibeliin bapakku tuh NPdi dari situ mulai suka buku-bukunya ENid Blyton sampai koleksi Lima Sekawan yang entah di mana skr, trus akunay pindah rumah juga. Tapi aku punya beberapa buku Lima Sekawan lagi nih beli terbitan baru. Oh ternyata 8 September hari aksara ya
BalasHapusAku sekarang sedang mengarungi lautan penulis platform nih dan memang karya-karya cetek begitu justru banyak pembacanya. Novelku yang berbeda tema dengan novel kebanyakan, malah sedikit yang berminat membaca. Aku sendiri geli membaca judul-judulnya, rata-rata sama semua. Dipaksa menikah, dipaksa menikah dengan ceo, dipaksa menikah dengan bos kejam, dll. Hadeeh... tapi mau gimana ya, pembacanya buanyaaak banget. Sastra memang hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil orang.
BalasHapusaku jarang baca teenlit sih mba dan ga merhatiin juga untuk buku-buku atau tulisan kekinian hehehe jadi was-was juga nih baca ini
BalasHapusSepertinya buku seri anak-anak di zamanku hampir kubaca semua deh, karena aku tinggal di rumah bareng keluarga ua yang kutubuku semua. Langganan banyak buku pulak, selain itu di sekolah teman2ku saling meminjamkan koleksi bukunya, di perpus sekolah juga lengkap... Sayangnya semakin tua minat bacaku ko drop ya huhu...eh maaf jadi curcol...
BalasHapusJadi kangen baca novel -novel dulu, pernah baca novel wiro sableng series gitu dan biasanya aku nyewa di deket rumah.
BalasHapusIya yaa mbak, hari aksara ini jadi momentum kita semua untuk bertanya kembali dalam hati. Sudah sejauh mana kita membaca, sudah sejauh mana kita belajar literasi Indonesia? Self reminder juga buat saya pribadi..
BalasHapusAku yang bukan apa-apa ini kok ikut sedih ya Mbak membacanya. Atau mungkin penerbit buku tersebut tidak memakai editor saat si buku diterbitkan karena sudah yakin bakal banyak yang mau baca? Aku sendiri belum begitu memahami sih kedah penulisan yang benar, tetapi membaca ini membuatku ingin perbaiki lagi. Thanks sharingnya Mbak.
BalasHapusZaman kecil aku sukanya baca kisah sahabat nabi buku perjuangan nabi dan juga majalah Bobo Donal Bebek majalah Ananda jadi untuk novel yang berat-berat aku malah kurang terlalu suka Tapi sejak dewasa sudah mulai membaca novel yang berat-berat temanya ðŸ¤
BalasHapusDari dulu senang banget novel-novel lama dan pemilihan kata untuk alur ceritanya. Jaman sekolah dulu kan wajib baca novel ini, nah kalau sekarang literasi bergeser makna dan kadang memenuhi permintaan atau kebutuhan jaman mbak.
BalasHapusJadi ingat yang lagi viral kemarin, kak Uniek.
BalasHapusMengalami perdebatan hingga ke berbagai profesi.
Aku merasa berat kalau saat ini harus membaca buku sastra, sehingga memilih buku yang ringan sehingga semangat literasi juga masih bergaung, terutama menjadi contoh untuk anak-anak di rumah.
wow komik anak 80an.. ibuku pernah punya tuh, cuma nggak banyak. aku inget waktu kecil ketakutan lihat sampul bukunya kok serem wkwk
BalasHapusaku membacanya kok berkaca2 sendiri, seraya malu pada diri sendiri .. aku merasa aku kok masuk dalam kateogri orang yang udah jarang membaca buku :(
BalasHapusSekarang lagi musim bacaan di platform digital tapi aku muak sama genrenya wkwk. Bacaan seragam kawin paksa, dihuna hina lalu berakhir indah. Aku masih setia dengan buku fisik dan karya yang indah. Jika nanti nulis di platform ya...pengen yang apik meski mungkin pembaca sedikit
BalasHapusSaya baru sadar, ternyata platform baca novel/cerpen online pun juga luput dari teknis-teknis, semacam "dimana", saltik sana-sini, penyingkatan kata. Ceritanya oke sih, tapi jadi agak kurang nyaman pas dibaca.
BalasHapus